Film “Yuni” Karya Kamila Andini: Tubuh Perempuan dalam Kungkungan Patriarki dan Pamali

Abstract

Tulisan ini membongkar konstruksi patriarkhi yang beroperasi melalui pamali dan interpretasi agama dalam film Yuni. Karya Kamila Andini yang dirilis tahun 2021 ini menguraikan kompleksitas kehidupan multi-beban perempuan yang terjadi sejak ia mengalami perkawinan anak. Melalui analisis wacana (content analysis) dengan teori feminis eksistensialis, studi film ini berfokus pada jalan kehidupan sosok Yuni yang diciptakan oleh budaya yang patriarkis ‘menjadi perempuan’. Hasil kajian menguatkan pengetahuan tentang dominasi patriarki yang masih hidup dan masih tetap menjadi sumber penindasan perempuan. Melalui film Yuni, belenggu patriarkhi yang bertahan melalui dua mekanisme budaya, yaitu pamali dan interpretasi agama semakin mengukuhkan posisi perempuan dan ketubuhannya sebagai sumber fitnah. Akan tetapi, refleksi atas pengalaman perempuan justru mengantarkan Yuni menemukan cara untuk mengakhiri penindasan pada dirinya. Melalui transendensi, Yuni menjemput titik kemerdekaan dan kebebasannya. pamali dan interpretasi agama yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas kedua memang semakin kokoh; apalagi diperkuat melalui praktik ketidaksetaraan institusional yang melembaga, baik dalam struktur keluarga tradisional dan struktur social lainnya. Akan tetapi, perempuan tidak diam, karena perempuan memiliki nalar kritis dalam menghadapi praktik kehidupan yang mengopresi dan meniadakan perempuan.

[This article uncovers the patriarchal construction that operates through taboos and religious interpretations in the film Yuni. Kamila Andini's work, released in 2021, described the complexity of the multi-burdened life of women that occurs since they experience child marriage. Through discourse analysis and existential feminist theory, this film study focuses on the life journey of Yuni, who is created by a patriarchal culture that requires women to "become women." The study's results reinforce knowledge about patriarchal domination that still exists and remains a source of oppression against women. Through the film Yuni, the patriarchal shackles that persist through two cultural mechanisms, namely taboos and religious interpretations, further reinforce the position of women and their bodies as a source of slander. However, reflection on women's experiences led Yuni to find a way to end the oppression she experienced. Through transcendence, Yuni reached a point of freedom and independence. Taboos and religious interpretations that place women as second-class citizens are becoming stronger, especially when reinforced by institutionalized inequality practices, both in traditional family structures and other social structures. However, women are not silent because they have critical thinking skills in facing life practices that oppress and deny their existence.]