https://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/issue/feedPanangkaran: Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat2025-01-20T21:45:47+07:00Moh. Mufidpanangkaran@uin-suka.ac.idOpen Journal Systems<p> </p> <table width="100%"> <tbody> <tr class="heading" style="border-top: 3px solid white;" valign="top"> <td style="border-right: 3px solid white;" width="20%"><img style="padding-top: 7px; padding-right: 11px;" src="https://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/public/site/images/it/buku-panangkaran.png" alt="" width="1349" height="1907" /></td> <td style="text-align: justify; border-left: 3px solid white; padding-left: 10px;" width="80%"> <p><strong>Jurnal Panangkaran</strong> merupakan jurnal Assosiasi Peneliti Agama-agama yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai media publikasi hasil penelitian para peneliti, ilmuwan dan cendekiawan. Tujuannya adalah untuk mewadahi, menyebarluaskan dan mendialogkan wacana ilmiah di bidang penelitian sosial keagamaan. Naskah yang dimuat dalam jurnal berasal dari hasil-hasil penelitian maupun kajian-kajian kritis para peneliti agama atau akademisi yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan sosial keagamaan, kelekturan, pendidikan dan keagamaan, agama dan sains.</p> <p><strong>Jurnal Panangkaran</strong> diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitbit) LP2M UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jurnal terbit setahun 2 kali pada bulan Juni dan Desember.</p> <p><strong>Jurnal Panangkaran</strong> terbit pertama kali pada 2017 dan<strong> </strong>terterakreditasi nasional dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Nomor<strong>: 200/M/KPT/2020.</strong></p> </td> </tr> </tbody> </table> <p> </p>https://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3680Indigenous-based Resistance: Rethinking the Barambang Katute Indigenous Community's Agrarian Conflict with the Government Through the Indigenous Religion Paradigm2024-10-04T12:34:31+07:00Muammarmuammar1999@mail.ugm.ac.id<p>The government's development narrative often victimizes Indigenous Peoples in Indonesia. Indigenous forests, sacred places for the community, are sought to be legalized for development purposes. This paper is a crisis study of government policies that use the World Religion Paradigm in developing policies toward the Indigenous Peoples of Barambang Katute. This research aims to reveal Indigenous-based resistance from the Barambang Katute Indigenous Community against government and company policies in Sinjai Regency. This article uses the Indigenous Religion Paradigm as its analysis. This research uses a literature study by analyzing written literature on the conflict between Indigenous Peoples and the government in Sinjai Regency. The results of this study mention that resistance in the Barambang Katute Indigenous Community is not only seen from the economic, political, and ecological aspects but also from the socio-religious aspects. The next result framework is written as follows: First, it discusses the history of the causes of agrarian conflicts between indigenous peoples and the government of Sinjai Regency. Second, it discusses the relationship between the Barambang Katute Indigenous Community and nature. Third, it discusses custom-based resistance as the solidarity of indigenous peoples in defending traditional territories. Through the Indigenous Religion Paradigm, we can see that in the efforts to seize the customary forest of Barambang Katute, the government has experienced dynamics and a long journey of conflict. Thus, custom-based resistance is an alternative struggle in defending the existence of customary forests as part of the spirituality of the Barambang Katute Indigenous Community.</p> <p>[Masyarakat Adat di Indonesia seringkali menjadi korban atas narasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hutan Adat yang merupakan tempat ‘sacred’ bagi masyarakat, diupayakan dilegalkan pemanfaatannya dengan alasan demi kepentingan pembangunan. Tulisan ini merupakan studi krisis terhadap kebijakan pemerintah yang menggunakan paradigma agama dunia dalam melakukan kebijakan pembangunan terhadap Masyarakat Adat Barambang Katute. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan resistensi berbasis Adat yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Barambang Katute terhadap kebijakan pemerintah dan perusahaan di Kabupaten Sinjai. Secara jelas, artikel ini menggunakan Indigenous Religion Paradigm sebagai analisisnya. Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan menganalisis literatur tertulis yang berhubungan dengan konflik Masyarakat Adat dengan pemerintah di Kabupaten Sinjai. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa resistensi dalam Masyarakat Adat Barambang Katute tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, politik dan ekologi melainkan juga dari aspek sosial-keagamaan. Berikutnya kerangka hasil ditulis sebagai berikut: Pertama, membahas tentang sejarah penyebab konflik agraria masyarakat adat dengan pemerintah Kabupaten Sinjai. Kedua, membahas tentang relasi Masyarakat Adat Barambang Katute dengan alam. Ketiga, membahas resistensi berbasis adat sebagai solidaritas masyarakat adat dalam mempertahankan wilayah adat. Melalui Paradigma Agama Leluhur kita dapat melihat upaya perampasan hutan adat Barambang Katute oleh Pemerintah telah mengalami dinamika dan perjalanan konflik yang panjang. Dengan demikian, Resistensi berbasis Adat merupakan alternatif perjuangan dalam mempertahankan eksistensi hutan adat sebagai bagian dari spiritualitas Masyarakat Adat Barambang Katute.]</p>2024-10-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Muammarhttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3577Kopi dalam Aktivitas Religi Masyarakat Hindu di Bali2024-09-29T07:48:50+07:00Si Gede Bandem Kamandalubandemkamandalu@gmail.com<p>Coffee was first introduced to Indonesia in the 16th century through colonialism activities carried out by the Dutch Colonial Government. The development of coffee began to increase since the forced planting period, during that period coffee cultivation extended to small islands in Indonesia, including Bali. In Bali, coffee gets special treatment, especially in terms of traditions and religious activities. This article attempts to explain the role of coffee in religious activities carried out by the Hindu community in Bali. Based on the research objectives, a data collection process was carried out through literature review, both from books, scientific journals and news articles. Apart from that, data collection was also carried out by applying observation and documentation methods to the research objects. The data was then processed using descriptive-qualitative analysis, so that this research prioritizes descriptions of the phenomena obtained during the research. Religious theories are also used to help the framework of thinking. The results of this research will provide an overview of the religious activities carried out by the Hindu community in Bali and their relationship to coffee, both in the form of places of worship, worship ceremonies and media of worship.</p> <p>[Kopi pertama kali dikenalkan di Indonesia pada abad ke-16 melalui aktivitas kolonialisme yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Perkembangan kopi mulai meningkat sejak masa tanam paksa, pada masa tersebut budidaya tanaman kopi meluas hingga ke pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk Bali. Di Bali, kopi mendapat perlakuan istimewa khususnya dalam hal tradisi dan aktivitas religi. Tulisan ini berupaya untuk menguraikan mengenai peran kopi dalam aktivitas religi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka dilakukan proses pengumpulan data melalui kajian pustaka, baik dari buku, jurnal ilmiah, dan artikel berita. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan menerapkan metode observasi dan pendokumentasian terhadap objek penelitian. Data kemudian diolah menggunakan analisis deskriptif-kualitatif, sehingga penelitian ini mengedepankan pendeskripsian terhadap fenomena yang didapat selama penelitian. Teori religi juga digunakan untuk membantu kerangka berpikir. Hasil dari penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai aktivitas religi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali serta kaitannya dengan kopi, baik dalam bentuk tempat pemujaan, upacara pemujaan, dan media pemujaan.]</p>2024-10-19T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Si Gede Bandem Kamandaluhttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3886Strategi Organisasi Mahasiswa Islam dalam Membangun Budaya Muslim yang Cinta Al-Qur’an2024-10-10T09:36:16+07:00Raudhatul Jannahraudhatuljannahsalam@students.unnes.ac.idAisyatul Latifahaisyalatif11@gmail.comAlya Rosadianaalyarosadiana@gmail.comJuliana Setefani Usainijulianasteffani8@gmail.com<p>The increase in interest in reading the Qur'an is one of the signs that a person's love for the Qur'an has also increased. The culture of loving the Qur'an as an effort to strengthen Muslim identity must certainly be done by muslims themselves. One way to create this culture can be by involving organizations. This study examines strategies, supporting factors and inhibiting factors in building a Muslim culture that loves the Qur'an with a case study at <em>the Jam'iyatul Qurra Wal Huffadz </em>Student Activity Unit<em>, </em> Salatiga State Islamic University. The research approach used is a descriptive qualitative method. Data analysis: Data collection, data reduction, data presentation and conclusion drawn. Data was obtained from the results of observations, questionnaires, interviews and documentation. The results show that in determining the strategy, there are four factors that are considered, namely observation of the surrounding environment, analyzing the chances of achieving a program, estimating possible threats and alternative solutions. Then there are seven rules that are the main focus in developing a strategy, namely the interpretation of the future, the existence of a plan, focusing on competitive advantages, top-down application, the existence of external orientation, flexibility, and centering on long-term results. Then, there are four supporting factors to build the culture, namely interest factors, motivational factors, habituation and repetition factors, and environmental factors. Furthermore, there are three inhibiting factors in building this culture, namely lazy attitudes and feelings, an attitude of responsibility that is not paid attention to, and the nature of <em>angel srawung</em>.</p> <p>[Peningkatan minat baca Al-Qur'an menjadi salah satu tanda kecintaaan seseorang terhadap Al-Qur'an juga meningkat. Budaya mencintai Al-Qur'an sebagai upaya memperkuat identitas muslim ini tentu harus dilakukan oleh muslim itu sendiri. Salah satu cara untuk menciptakan budaya tersebut bisa dengan melibatkan organisasi. Pada penelitian ini mengkaji tentang strategi, faktor pendukung dan faktor penghambat dalam membangun budaya muslim yang cinta Al-Qur'an dengan studi kasus di Unit Kegiatan Mahasiswa <em>Jam'iyatul Qurra Wal Huffadz</em> Universitas Islam Negeri Salatiga. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif deskriptif. Analisis datanya: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Data diperoleh dari hasil observasi, kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Hasilnya menunjukkan bahwa organisasi ini dalam menentukan strategi ada empat faktor yang diperhatikan yaitu pengamatan lingkungan sekitar, menganalisis peluang ketercapaian suatu program, memperkirakan ancaman yang mungkin terjadi, dan solusi alternatifnya. Kemudian ada tujuh aturan yang menjadi fokus utama dalam menyusun strategi yaitu adanya interpretasi masa depan, adanya rencana, berfokus pada keunggulan kompetitif, pengaplikasian dari atas ke bawah, adanya orientasi eksternal, fleksibilitas, dan berpusat pada hasil jangka panjang. Lalu, ada empat faktor pendukung untuk membangun budaya tersebut yaitu faktor minat, faktor motivasi, faktor pembiasaan dan pengulangan, serta faktor lingkungan. Selanjutnya ada tiga faktor penghambat dalam membangun budaya tersebut yaitu sikap dan rasa malas, sikap tanggung jawab yang kurang diperhatikan, serta sifat <em>angel srawung</em>.]</p>2024-11-03T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Raudhatul Jannah, Aisyatul Latifah, Alya Rosadiana, Juliana Setefani Usainihttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3888Perbedaan dalam Kebersamaan: Pembacaan Doa Pasca Meninggal Lintas Iman di Desa Cisantana Kabupaten Kuningan Jawa Barat2024-10-23T23:56:15+07:00Sokhifah Hidayahsokhifah62@gmail.comDwi Aryantiaryantidwi159@gmail.comMuhammad Fadilahmhmfadilah02@gmail.comReskika Putri Pasundreskikaputri@gmail.comNabila Rahmatul Husnabella.rahmatulhusna@gmail.comAlwi Ibrahim Lubisalwiibrahim111002@gmail.comWisnu Uriawan wisnu_u@uinsgd.ac.idAep Kusnawanaep_kusnawan@uinsgd.ac.id<p>The paper explores the practice of religious moderation in Cisantana village, Kuningan, West Java through the practice of interfaith post-death prayers. This research highlights a series of funeral events starting from the announcement of the news of death to post-death prayers. Qualitative methods were used in this study to gain an in-depth and comprehensive understanding. This research design refers to ethnographic research that allows researchers to participate and directly observe the phenomenon. Research data in addition to participatory observation was also collected through in-depth interviews with the community. While the data analysis technique used is content analysis technique. The findings of this research are: (1) interfaith prayer began because of the diversity of religions that exist in one family as well as ancestral heritage; (2) the phenomenon of interfaith prayer is an effort of the Cisantana hamlet community in maintaining harmony in the midst of diversity; (3) the phenomenon of interfaith prayer is a manifestation of a high sense of brotherhood and a form of implementation of the 3 main Sundanese teachings namely <em>silih asah</em> (learning from each other), <em>silih asih</em> (caring for each other), <em>silih asuh</em> (loving each other).<br /><br />[Tulisan mengeksplorasi praktik moderasi beragama masyarakat desa Cisantana, Kuningan, Jawa Barat melalui praktik doa pasca meninggal lintas iman. Penelitian ini menyoroti serangkaian acara pemakaman mulai dari pengumuman berita meninggal hingga doa pasca meninggal. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Desain penelitian ini mengacu pada penelitian etnografi yang memungkinkan peneliti untuk berpartisipasi dan mengamati secara langsung fenomena tersebut. Data penelitian selain melalui observasi partisipatif juga dihimpun melalui wawancara mendalam kepada masyarakat. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis isi (<em>content analysis</em>). Temuan penelitian ini berupa: (1) doa lintas iman bermula karena keragaman agama yang ada dalam satu keluarga sekaligus merupakan warisan leluhur; (2) fenomena doa lintas iman merupakan upaya masyarakat dusun Cisantana dalam merawat kerukunan di tengah keragaman; (3) fenomena doa lintas iman merupakan perwujudan dari tingginya rasa persaudaraan dan bentuk implementasi dari 3 pokok ajaran Sunda yaitu <em>silih asah </em>(saling belajar)<em>, </em><em>silih</em> <em>asih</em> (saling peduli)<em>, silih asuh</em> (saling menyayangi).]</p>2024-11-03T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Sokhifah Hidayah, Dwi Aryanti, Muhammad Fadilah, Reskika Putri Pasund, Nabila Rahmatul Husna, Alwi Ibrahim Lubis, Wisnu Uriawan , Aep Kusnawanhttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3788Toleransi Beragama: Analisis Wacana Kritis Fairclough Pada Program LOGIN Episode 30 Season 22024-10-17T22:21:37+07:00Samuel Delahoyasamueldelahoya0606@gmail.com<p>This study is based on the reality of religious diversity in Indonesia which is plural and diverse. There are many religions, both conventional and traditional religions or commonly referred to as tribal religions, such as Kaharingan, Marapu, Parmalim, Kejawen. Therefore, Indonesia is rich in diversity, especially in the dimension of religious life. The development of technology is very rapid in the current era, both on a global and national scale, one of which is in Indonesia. YouTube is a media that has experienced very rapid development. This media is in demand by its activists by uploading videos on channels for certain purposes, one of which is LOGIN on Deddy Corbuzier's Channel. The purpose of this study is to see the discourse and ideology in the videos uploaded on the LOGIN program, especially in episode 30 season 2. The method in this study is qualitative with two methods, namely Fairclough's critical discourse analysis and descriptive analysis. This study begins by presenting the theory related to interfaith dialogue from Knitter and Kung, then analyzing the LOGIN video episode 30 season 2 and 3 other videos: episodes 1 and 30 season 1, and episode 1 season 2. The results of the discourse analysis want to see the discourse of tolerance that is born through harmonious and comedic religious dialogue from each religious figure in the LOGIN program video.<br /><br />[Penelitian ini berangkat dari realitas keberagaman agama di Indonesia yang plural dan majemuk. Banyak sekali agama-agama, baik dari agama yang konvensional maupun agama yang tradisional atau biasa disebut sebagai agama suku, seperti <em>kaharingan, marapu, parmalim, kejawen</em>. Oleh karena itu, Indonesia kaya akan keberagaman, khususnya dalam dimensi kehidupan keagamaan. Perkembangan teknologi sangat pesat di era sekarang, baik dalam skala global maupun negara, salah satunya di Indonesia. YouTube menjadi media yang mengalami perkembangan sangat pesat. Media ini diminati oleh para pegiatnya dengan mengunggah video di channel untuk tujuan tertentu, salah satunya adalah LOGIN di Channel Deddy Corbuzier. Tujuan penelitian ini untuk melihat wacana dan ideologi pada video yang diunggah di program LOGIN, khususnya di episode 30 season 2. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan dua metode yakni analisis wacana kritis Fairclough dan analisis deskriptif. Penelitian ini dimulai dengan memaparkan teori terkait dialog antar agama dari Knitter dan Kung, kemudian menganalisis video LOGIN episode 30 season 2 dan 3 video lainnya: episode 1 dan 30 season 1, serta episode 1 season 2. Hasil dari analisis wacana tersebut ingin melihat wacana toleransi yang lahir melalui dialog agama yang harmoni dan bernuansa komedi dari setiap tokoh-tokoh agama di dalam video program LOGIN.]</p>2024-11-05T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Samuel Delahoyahttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3862Gender Equality Representation in the Movie Avatar the Last Airbender2024-10-02T21:34:35+07:00M. Ibnu Naufal Maskurim.ibnunaufal@gmail.comAngella Dias Paramithaangelladp208@gmail.com<p>The film industry is often considered as a mere entertainment medium, but the reality is that today's films are a communication medium that contains many representations of real-world life portraits, one of which is the topic of gender equality. Gender equality and the feminist movement have always had a place in the world of film, but there is still a stigma that women who only rely on their appearance or physique will be more dominantly displayed than women with good acting skills in the entertainment world. As the largest animation company in the world, Disney also released a film that also voiced gender equality through the film Avatar the Last Airbender through scenes and Katara characters in the film. The purpose of this study is to determine and understand the representation of the message of gender equality contained in the film Avatar the Last Airbender based on the scalpel approach of Roland Bartes' semiotic theory with 3 elements of meaning, namely denotation, connotation and myth. This study found that in the film Avatar the Last Airbender through dialogues and images there is a message about equality represented by the character Katara both in terms of connotation, denotation and myth. Katara as a female character in the film emphasizes the character of a woman who is brave, intelligent and does not want to be underestimated. Seen through the character of Katara in the scene leading to the practice of voicing and representing the importance of gender equality to be voiced in community life.</p> <p>[Industri perfilman sering dianggap sebagai media hiburan semata, namun realitanya saat ini film merupakan media komunikasi yang memuat banyak representasi potret kehidupan dunia nyata salah satunya topik mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan gender dan gerakan feminisme selalu mendapat tempat didunia perfilman namun masih ada stigma bahwa perempuan hanya mengandalkan rupa atau fisik akan lebih dominan sering ditampilkan dibandingkan perempuan yang kemampuan aktingnya baik dalam dunia hiburan. Sebagai perusahaan animasi terbesar di dunia Disney juga merilis film yang ikut menyuarakan mengenai kesetaraan gender melalui film Avatar the Last Airbender melalui adegan-adegan dan tokoh Katara dalam film know know. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami representasi pesan kesetaraan gender yang terdapat pada film Avatar the Last Airbender berdasarkan pendekatan pisau bedah teori semiotika Roland Bartes dengan 3 elemen makna yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Penelitian ini menemukan bahwa dalam film Avatar the Last Airbender melalui dialog-dialog serta gambar adanya pesan mengenai kesetaraan yang diwakili oleh tokoh Katara baik secara konotasi, denotasi dan mitos. Katara sebagai tokoh perempuan dalam film menonjolkan karakter perempuan yang berani, cerdas serta tidak ingin dipandang sebelah mata. Terlihat melalui tokoh katara dalam adegan mengarah kepada praktik pada aksi menyuarakan serta merepresentasikan akan pentingnya kesetaraan gender untuk disuarakan dalam kehidupan bermasyarakat.]</p>2024-11-09T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 M. Ibnu Naufal Maskuri, Angella Dias Paramithahttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/3845Tradisi Batimung dalam Tinjauan Sosiologi Hukum Islam: Studi di desa Pematang Limau, Seruyan Hilir, kabupaten Seruyan2024-09-26T20:29:37+07:00Dhea Yolandadheay858@gmail.comFathonah K. Daudfathkasuwi@gmail.comMas UmarUmar.elasyrof@g.mail.com<p>This study discusses the batimung tradition in Pematang Limau village, Seruyan Hilir sub-district, Seruyan regency. The batimung tradition is a steam bath originating from the Banjar tribe, carried out by steaming the body using traditional concoctions of spices and leaves that have a fragrant aroma. This tradition is carried out within a period of 1 to 3 days before the wedding reception. Both the groom and the bride are involved in this tradition, which is carried out in a closed room to keep the steam from disappearing quickly. This study aims to determine the implementation and find cultural values in the batimung tradition in Pematang Limau village, Seruyan Hilir sub-district, Seruyan regency. This study is a field research using qualitative methods. The author collects data from informants and compares information from various informants and documentation in Pematang Lima village, then reviews it from a legal sociology perspective. The results of the study indicate that the batimung tradition includes cleansing and purification rituals as preparation for facing important moments. In addition, there are also prayers given to the bride and groom. The values contained in the batimung tradition include cooperation between the two families, respect for tradition, mental and spiritual preparation for the bride and groom. These values are in line with the principles of Islamic law on marriage, which emphasize the importance of cleanliness, mental and spiritual readiness before entering married life.</p> <p>[Penelitian ini membahas tentang tradisi <em>batimung</em> di desa Pematang Limau, kecamatan Seruyan Hilir, kabupaten Seruyan. Tradisi <em>batimung</em> merupakan mandi uap yang berasal dari suku Banjar, dilakukan dengan menguapi tubuh menggunakan ramuan tradisional dari rempah-rempah dan daun-daunan yang memiliki aroma harum. Tradisi ini dilaksanakan dalam rentang waktu 1 hingga 3 hari sebelum acara resepsi pernikahan. Baik mempelai laki-laki maupun perempuan terlibat dalam tradisi ini, yang dilakukan di dalam ruangan tertutup untuk menjaga agar uap tidak cepat hilang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan dan menemukan nilai-nilai kebudayaan dalam tradisi <em>batimung </em>di desa Pematang Limau, kecamatan Seruyan Hilir, kabupaten Seruyan. Penelitian ini termasuk penelitian lapangan yang menggunakan metode kualitatif. Penulis mengumpulkan data dari narasumber dan membandingkan informasi dari berbagai narasumber dan dokumentasi yang ada di desa Pematang Lima, kemudian meninjaunya dengan perspektif sosiologi hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi <em>batimung</em> mencakup ritual pembersihan dan penyucian sebagai persiapan untuk menghadapi momen penting. Selain itu, terdapat juga doa-doa yang diberikan kepada kedua mempelai. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi <em>batimung</em> meliputi kerjasama antara kedua keluarga, penghargaan terhadap tradisi, persiapan mental dan spiritual bagi kedua mempelai. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam tentang pernikahan, yang menekankan pentingnya kebersihan, kesiapan mental dan spiritual sebelum memasuki kehidupan berumah tangga.]</p>2024-12-04T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Dhea Yolanda, Fathonah K. Daud, Mas Umarhttps://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/4101Interpreting Meditation as an Interreligious Occasion: an Interrituality Approach2025-01-20T21:45:47+07:00Refan Adityaevanditya06@gmail.com<p>This research examines meditation as a form of interreligious engagement through an interrituality approach. The concept of interrituality involves interreligious encounters that are catalysed by rituals. The meditation considered here is a public meditation organised by one of the Buddhist institutions in Indonesia, namely Karangdjati vihara Yogyakarta. This research uses semi-structured interviews and participatory observation of regular non-Buddhist participants in the vihara. Drawing on the interrituality approach, this research aims to present the plurality of interpretations of the one Buddhist ritual of meditation based on the participants' immersions, and needs that allows for the sharing of religious experiences in a hospitality moment. In that way, this study aims to contribute to broadening the interest of interreligious studies from theological, theoretical, and discursive dialogue to the more practical, lived interreligious encounters through the realm of ritual.</p> <p>[Penelitian ini meneroka meditasi sebagai momen perjumpaan lintas agama melalui pendekatan interrituality. Konsep interrituality bermakna perjumpaan lintas agama yang diwujudkan oleh ritual. Meditasi yang diteliti adalah meditasi umum yang diselenggarakan salah satu institusi agama Buddha di Indonesia, yaitu vihara Karangdjati Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi-struktur dan observasi partisipatif terhadap partisipan reguler non-Buddhist di vihara. Dengan menggunakan pendekatan interritualitas, penelitian ini berupaya menampilkan pluralitas penafsiran atas satu ritual meditasi berdasarkan penghayatan dan kebutuhan para partisipannya yang memungkinkan terjadinya saling berbagi pengalaman religius dalam suasana ramah tamah. Dengan cara itu, penelitian ini hendak berkontribusi untuk memperluas perhatian studi lintas agama dari dialog teologis, teoritis dan diskursif ke perjumpaan lintas agama yang lebih praktis dan hidup melalui ranah ritual.]</p>2025-01-28T00:00:00+07:00Copyright (c) 2024 Refan Aditya