Tantangan dan Peluang Kajian Integratif-Interkonektif di Fakultas Sains dan Teknologi

Authors

  • Agung Fatwanto UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Keywords:

Integratif-Interkonektif, Kajian, Sains dan Teknologi

Abstract

Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta saat ini sudah memasuki usia 15 tahun. Dalam konteks perkembangan kelembagaan, usia 15 tahun boleh dibilang belum terlalu matang. Dibandingkan dengan berbagai lembaga lain yang menawarkan program-program studi sejenis, usia, kematangan akademik, dan keunggulan kompetitif FST bisa dikatakan masih relatif tertinggal. Dengan demikian, FST diharapkan bisa bergerak cepat dalam merespon berbagai kondisi eksternal yang melingkupinya. Hingga saat ini FST seringkali masih dihadapkan dengan ambiguitas terhadap distingsi program dan ciri khas model kajian yang dijadikan pegangan. Kondisi ini menjadikan arah pengembangan tri dharma FST menjadi kurang begitu solid. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sendiri sebenarnya telah menjadikan spirit integratif-interkonektif sebagai bagian dari core values yang dimiliki. Spirit ini lah yang perlu lebih dimanifestasikan dalam kerja-kerja akademik di lingkup FST. Salah satu aspek yang spesifik dari struktur kelembagaan FST UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan juga fakultas sejenis di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lain di lingkungan Kementerian Agama, adalah adanya tiga bidang kajian berbeda (kajian formal, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan) dalam satu fakultas yang sama. Meski demikian, setelah 15 tahun berjalan, civitas dari masing-masing bidang kajian masih belum saling mengenal secara baik dalam kerjakerja akademik. Alih-alih produktif menghasilkan kajian integratif-interkonektif, kolaborasi yang bersifat multi, cross, inter, dan transdisipliner pun belum begitu marak. Materi ini mencoba mendeskripsikan beragam tantangan dan sekaligus peluang yang dimiliki FST dalam mewujudkan kajian yang bersifat integratif-interkonektif sebagai orientasi pengembangan akademik. Tiga tantangan yang bersifat mendasar adalah: (i) adanya otoritas, hegemoni, dan komunitas yang telah mapan dari setiap bidang kajian; (ii) masing-masing bidang kajian memiliki tradisi, paradigma epistemologis, dan metodologi yang berbeda; dan (iii) media “etalase” setiap bidang kajian yang tidak/belum ramah terhadap kajian alternatif (semacam kajian integratifinterkonektif). Sebuah proposal yang bersifat operasional coba ditawarkan untuk menghadapi tantangan tersebut. Secara umum, kajian yang bersifat integratif-interkonektif seharusnya bisa dilakukan pada lapis teori dan (mungkin) paradigma. Meski demikian, pada lapis epistemologi dan metodologi masih sangat berat untuk dilakukan. Secara khusus, untuk mengatasi tantangan pertama, intensifikasi kerja-kerja yang bersifat multi, cross, inter, dan trans-disiplin perlu dipertimbangkan sebagai “batu loncatan” menuju kajian yang bersifat integratif-interkonektif dengan memanfaatkan fleksibilitas context of discovery (invention). Selain itu, perlu dibentuk jejaring, komunitas, dan fora kajian lintas disiplin. Untuk menghadapi tantangan kedua, paradigm epistemologis dan metodologi yang sudah mapan di setiap bidang kajian tetap perlu diikuti agar comply terhadap rigiditas context of justification. Setiap civitas perlu mengenal dan memahami tradisi, paradigma epistemologis dan metodologi dari beragam bidang kajian. Sebagai konsekuensi, adanya hasil kajian yang berbeda (atau bahkan kontradiktif) perlu diberikan kesempatan co-exist untuk ber-dialektika. Terakhir, untuk menghadapi tantangan ketiga, perlu diinisiasi beragam media diseminasi (semacam jurnal, konferensi, seminar, kolokium, kurikulum dan perkuliahan, dll) yang apresiatif terhadap kajian integratif-interkonektif. Perlu juga dipertimbangkan untuk melakukan re-formatting terhadap hasil-hasil kajian integratif-interkonektif ke bentuk dan melalui media popular. 

Downloads

Published

2021-08-09

Issue

Section

Keynote Speech